sugeng rawuh di blogku: kharispradana.blogspot.com ^_^

Kamis, 10 November 2011

Catatan Bersama Gerakan KAMMI Mengajar (2)

Alhamdulillah, Akhirnya memiliki kesempatan juga untuk melanjutkan catatan ini, ditengah hangatnya suasana menjelang Pemira di Kampus. Juga di awal November ini, hujan yang meneduhkan akhirnya menyapa Jogja, namun tentu saja membuat warga di sekitar bantaran Kali aliran lahar dingin Merapi harus waspada.

Catatan kali ini ingin kupersembahkan untuk mengenang peristiwa tepat setahun yang lalu. bersama Bara Breelian, Mbak Ria, Mas Nendi, Mbak Echa, Mbak Meichy,  Mas Andi.

Bagi warga di lereng Merapi, boleh jadi ini adalah peristiwa yang paling mengharukan dalam hidup mereka, karena tahun lalu tepat tanggal 4 dan 5 November dini hari, lahar dan awan panas Merapi menerjang hingga 18 km dari puncak Merapi, erupsi terbesar sejak 100 tahun yang lalu. Tentu saja dampaknya juga teramat besar, ribuan rumah luluh lantak, ratusan jiwa menjadi korban ke dahsyatan erupsi Merapi kala itu.

Ini adalah catatanku untuk mengenang peristiwa hari itu. walaupun berada cukup jauh dari aliran lahar dan awan panas Merapi, namun hari itu boleh dibilang menjadi titik nadir kepasrahanku antara hidup dan mati. Berlebihan mungkin, namun memang seperti itulah yang kurasakan.

Semoga memori hari itu masih bisa tertuang baik dicatatanku kali ini.


Bagian 2 –  Merapi, dan Titik Nadir kehidupan


Pagi ini tidak ada yang berbeda, suasana Jogja yang masih diselimuti abu tipis sisa hujan abu sabtu kemarin. Memang tidak seperti Magelang, Boyolali dan wilayah di sebelah barat Merapi, Jogja tidak selalu terkena hujan abu. Didepan kontrakan yang menjadi tempat penjualan sayur pun sudah ramai dikunjungi ibu-ibu.

kurasa badanku  agak capek memang, oh iya teringat semalam baru tiba dikontrakan hampir pukul 12 malam.
Pukul 21.30 semalam aku masih berada di barak pengungsian kepuharjo untuk evakuasi barang pribadi dan beberapa barang inventaris Children Center KAMMI.

Setelah evakuasi malam tadipun saya masih menyempatkan diri untuk koordinasi dengan koordinator relawan DPC Cangkringan, dan setelah itu koordinasi dengan beberapa Kadep KAMDA Sleman di rumah mbak Ria, Kadep Sosmas KAMDA yang berada di Cangkringan hingga diatas jam 11.

Selain koordinasi dengan relawan DPC dan KAMDA dimalam harinya, beberapa koordinasi bersama penanggulangan Bencana Merapi juga dilakukan sejak pagi hari tanggal 3 November kemarin.

Di sekretariat BSMI Jogjakarta, ada koordinasi singkat dengan mas Rendi dari BSMI Jogjakarta dan mbak Rizka dari Humanitarian Day Indonesia di pagi hari. Dan siangnya koordinasi dengan beberapa elemen relawan “trauma healing” untuk anak-anak, bersama kementerian Sosial, Dompet Peduli Ummat Daruut Tauhiid (DPUDT), dan Sekolah Pintar Merapi UNY di barak pengungsian Wukirsari.

Pagi itu, dengan banyak rencana yang akan dilakukan diMerapi hasil koordinasi kemarin, saya bersiap mentransfer ke teman-teman relawan CC KAMMI Cangkringan yang lain.

Namun semua rencana yang kususun seketika berubah ketika mendapat pesan singkat dari mbak Ria.
“Ris, semalem erupsi lagi, jarak aman jadi 15 km, sekarang di rumah mbak banyak pengungsi dari petung. Ajak temen-temen komsat kesini ya...”

Singkat cerita, setelah beberapa kali memastikan kondisi di Cangkringan via sms ke mbak Ria, beberapa relawan dan berita di TV, akhirnya saya memutuskan untuk langsung melihat kondisi pengungsi di tempat mbak Ria di dusun Ngemplak, Wukirsari, Cangkringan.

bersama ketua Komsat UGM mas Bara, kami tiba dirumah mbak ria sebelum pukul 09.00 untuk melihat kondisi langsung pengungsi disana.  Diaula rumah mbak Ria, lebih dari 100 orang warga petung mengungsi disana, kebanyakan Lansia. Sebelumnya mereka mengungsi di barak kepuharjo, namun erupsi yang lebih besar terjadi dini hari tadi, dan BMKGpun meningkatkan jarak aman Merapi yang semula 10 km menjadi 15 km.

Padahal semalam hingga pukul 21.30, saya masih ditengah-tengah mereka, oh iya disana, dibarak pengungsian kepuharjo juga sedang digelar pertunjukan seni wayang yang baru dimulai pukul 21.00. biasanya sih hingga pagi. Berarti, ketika terjadi erupsi yg lebih besar dini hari tadi, pertunjukkan wayangnya masih berlangsung... gumamku dalam hati.

Akibat erupsi semalam, pengungsi dari barak Umbulharjo, Kepuharjo, dan Glagahharjo harus dievakuasi-atau mungkin mengevakuasi diri sendiri kebanyakan, dengan barang seadanya ke barak pengungsian yang lebih aman. Di barak wukirsari sendiri, akibat tidak muat menampung para pengungsi, banyak pengungsi yang harus mengungsi di rumah-rumah warga disekitar balai desa wukirsari. Termasuk yang mengungsi di rumah mbak Ria..

Akibatnya terjadi crowded sejak pagi itu, terutama kesulitan pendataan lokasi pengungsian yang terpisah-pisah. di tempat mbak Ria sendiri makan pagi untuk pengungsi masih belum tersedia padahal sudah lebih dari pukul 09.00, alas tidur untuk para pengungsi pun masih kurang, dan banyak sekali masalah yang harus dihadapi pengungsi saat itu.

Warga dusun Ngemplakpun berduyun-duyun membantu menyiapkan sarapan pengungsi pagi itu, serta membantu pengungsi sebisanya, semampu yang mereka bisa. Subhanallah, inilah sejatinya ukhuwah kufikir... tak perlu teori, namun langsung berbagi ketika saudaranya membutuhkan. Dan ini ditunjukkan oleh warga desa ini.
.......................................................................................................................................
Setelah Bara pamit karena ada agenda lain dan berjanji akan kembali lagi ketika sore hari, akhirnya aku memutuskan untuk menemani adik-adik yang pengungsi untuk bermain. Ada 8 anak waktu itu, kuajak saja bermain ke sawah didekat rumah mbak ria. Menangkap yuyu disana. Hampir sejam kami bermain, bercerita, mencoba mengenal mereka satu persatu...

Salah satu anak yang paling kuingat bernama ryan. Kelas 4 SD. Ryanlah yang paling banyak bercerita padaku waktu itu. tentang rumahnya kecilnya dulu, yang kini tinggal kenangan. Sekolahnya, tempat menuntut ilmu, teman-teman dan waktu bermain sorenya, ketenangan tidurnya, dan masih banyak lagi ceritanya sebelum akhirnya Ryan dan keluarganya harus mengungsi.

Juga cerita polos perjuangannya beradaptasi dengan barak pengungsian lebih dari seminggu ini. Tentu bisa dibayangkan, tidur berhimpitan, makan yang terkadang tidak selera, harus selalu terbangun di malam hari, beberapa kali harus turun untuk evakuasi ketika erupsi terjadi lagi, semua bercampur menjadi satu.

Namun sama sekali tidak nampak kesedihan diwajahnya kala itu, ketika kutanya mengapa, jawabannya begitu murni, setulus hatinya... “Ryan ndak mau nyusahin ibu sama bapak” jawaban  yang menunjukkan betapa kuat dan tabahnya si kecil Ryan. Dan tentu saja kekagumanku muncul kepada orang tua Ryan yang membuat anaknya memahami kalau apa yang mereka alami saat ini adalah ujian, dan harus dijalani dengan tabah.

Ryan dan teman-temannya bermain dengan seru di pematang sawah. Walau mereka bukan orang kota, namun di rumah mereka, dusun petung yang berjarak kurang dari 5 km dari puncak Merapi tentu saja sawah tetap menjadi hal yang menarik, menangkap yuyu yang biasanya di kali, kini mereka jumpai di sawah. Juga air bening dan ikan-ikan kecil diatas lumpur di saluran irigasi sawah.

hari itu, aku ingin mengajak mereka untuk bergembira menikmati suasana teduh di pematang sawah, mengobati sedikit luka yang mereka rasakan. Waktu anak-anak adalah waktu bermain, dan saya tidak ingin ada kebahagiaan yang terenggut dari wajah-wajah polos itu.

Ketika adzan, yang putra kuajak sholat di masjid. Setelah itu kubiarkan mereka bertemu dengan orang tuanya di aula rumah mbak Ria. Bercerita tentang sawah yang baru mereka kunjungi.

setelah makan siang, kembali kuajak adik-adik untuk bermain bersama, bermain ular tangga bersama selalu jadi andalan untuk memancing senyum mereka. Setelahnya kuajak mereka menonton film animasi edukasi di ruang tamu mbak Ria. Tentu saja sambil mengenali mereka. Anak-anak Merapi yang tabah.

Ketika asyik menemani adik-adik menonton film, ada pesan masuk, dari teman-teman BEM FKH, mengingatkan kalau sore ini harus mengisi di pembekalan untuk calon pengurus BEM KH. TORnya memang sudah dikirim sejak beberapa hari yang lalu, dan saya tidak pernah lupa kalau jadwalnya sore ini, namun beberapa hari ini pula kesibukan di Posko mengalihkan duniaku. Mulai dari kegiatan diposko hingga koordinasi dengan berbagai pihak untuk penanggulangan Merapi.

Pengalaman pertama menjadi fasilitator materi tanpa persiapan memang selalu membuat tidak tenang bahkan sakit perut.

Akhirnya ba’da ashar, setelah pamit kepada adik-adik, kupacu motor pinjaman mbak Ria menerjang hujan dari Cangkringan ke kampus, derasnya hujan sore itu membuatku  berkendara dengan sangat hati-hati, karena selain jalan yang licin, jarak pandanganpun sangat dekat.

Alhamdulillah begitu tiba di FKH, hujan sudah agak reda. Kulihat jam 04.05 wib. Telat 5 menit, semoga masih terkejar.disana saya sudah ditunggu beberapa pengurus BEM FKH, dan mulai mengisi diskusi Ansos sore itu dengan tanpa persiapan yang matang...

Oiya, didiskusi sore itu, pertama kalinya saya bertemu dengan Candra, yang unik, dan kelak akan menjadi rekanku di Sosmas komsat. Mungkin nanti akan ada waktunya kuceritakan tentang Candra dan keunikannya ^^ menurut sudut pandangku.

Selepas dari KH, saya menyempatkan diri ke kontrakan untuk mandi dan menghangatkan tubuh. Ternyata Bara sore tadi sudah berangkat ke rumah mbak Ria. menepati janjinya.

Selepas Maghrib, sekitar pukul setengah 7 malam, kembali kupacu motor menuju Cangkringan. Hujan tinggal rintik-rintik,
namun baru kusadari setelah perempatan lampu merah MM, kalau ini bukan hanya gerimis, namun juga hujan abu yang basah terkena hujan. ini berarti, Merapi kembali meletus sore tadi ketika hujan deras...

Tidak jauh dari perempatan MM, saya bertemu dengan mas Rendi, ketua BSMI Jogja. Darinya kudapat kabar kalau jalan menuju Cangkringan ditutup. Dan darinya pula kudapati saran untuk mengurungkan niatku berangkat ke Cangkringan.

Namun tekadku sudah cenderung bulat, dan akhirnya setelah mempertimbangkan berbagai hal, termasuk janji ke Bara untuk bertemu disana malam ini, tetap nekat kupacu motor menuju Cangkringan. Tentu saja dengan hujan abu yang semakin tebal dengan jarak pandang kurang lebih hanya 3 meter, motornya kukendarai dengan sangat pelan.

Mengendarai kendaraan ketika hujan abu disertai gerimis sungguh sangat tidak menyenangkan, ketika menggunakan kaca helm, maka kacanya dengan segera akan tertutup abu dan penglihatan akan tertutup seketika. Jadi kita hanya bisa mengandalkan mata sendiri ditengah hujan abu tersebut, menyipitkan pandangan supaya tidak banyak abu yang masuk kedalam mata, dan tentu saja lebih banyak menggunakan insting untuk mengendarai motor.

Menghindari pencegatan di sekitar UII, di jakal km 12, saya memutuskan untuk memutar dan menggunakan jalur Ngemplak untuk menuju Cangkringan. Beberapa kali sempat merasa asing karena tidak tahu berada dimana saat itu, namun Alhamdulillah ketika bertanya kepada warga, masih dituntun dijalur yang benar menuju Cangkringan.

Beberapa kali bertanya, ditambah harus mengendarai kendaraan dengan sangat hati-hati, akhirnya saya sampai dirumah mbak Ria pukul setengah 9 malam. Perjalanan yang biasanya ditempuh paling lama 50 menit, malam ini kutempuh dalam 2 jam. Walaupun lama, saya bersyukur masih bisa sampai disini dengan selamat tanpa kurang suatu apapun.

Sampai disana, suasana sudah sangat sepi, saya disambut oleh ibu mbak Ria dan langsung disuguhi teh panas. Di aula depan sudah sangat sepi, hampir semua pengungsi sudah terlelap. Dinginnya malam serta gerimis ditambah kelelahan akibat harus mengungsi dini hari kemarin membuat mereka segera terlelap, padahal Bara dan Mbak Ria masih di Balai desa menunggu makan malam untuk mereka jadi.

Pukul 9 kurang, bara dan mbak Ria tiba dirumah membawa 2 plastik nasi bungkus untuk pengungsi disana. Namun nyenyaknya tidur mereka, mengurungkan niat kami untuk membangunkan mereka. Karena sebelum tidur mereka juga sudah makan nasi jatah makan siang yang baru tiba disana pukul 4 sore.

Akhirnya malam itu saya, bara, mbak ria, dan orang tua mbak ria membicarakan persiapan besok akan seperti apa untuk membuat pengungsi disini merasa nyaman. Dan kami memutuskan untuk  menyiapkan konsumsi sendiri mengingat pengalaman hari ini jadwal pembagian makanan disini dari pusat barak wukirsari sangat terlambat datangnya.

Tidak lama kemudian, mobil sewaan KAMWIL yang membawa bantuan untuk pengungsi tiba. Ada Mas Nendi, man Andi, Mbak Meci, dan mbak Echa yang ikut mengantarkan barang-barang ke rumah mbak Ria. Setalah itupun kami membicarakan terkait apa saja yang akan dilakukan dan dipersiapkan untuk besok. Tentu saja fokus sesuai kemampuan kami dulu, yaitu membantu menyiapkan sebaik-baiknya untuk pengungsi yang ada disini.

Setengah jam berlalu, hujan memang sudah reda dari tadi, namun gemuruh Merapi terdengar semakin sering dan semakin besar disertai guntur dan petir dari arah gunung Merapi.
sementara itu mulai terasa gempa akibat getaran Merapi, tak pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi pada Merapi saat itu.

Menjelang pukul sebelas, getaran semakin kencang, sampai menggetarkan kaca-kaca rumah. Beberapa pengungsi terbangun, namun sebagian besar masih tidur tidak menghiraukan. Karena sore tadi pihak BMKG memastikan kalau jarak 15 km adalah jarak aman merapi berdasarkan perhitungan.

Semakin sering dan besarnya gempa akibat getaran merapi mengakibatkan kami yang berada disana panik, ditengah suasana yang semakin mencekam tersebut, pak Dukuh Ngemplakpun masih belum mendapat kabar apapun dari barak pengungsian utama di balai desa wukirsari. Walau demikian, melihat kondisi Merapi yang semakin mencekam, pak dukuh meminta warganya untuk selalu dalam keadaan siap apabila sewaktu-waktu harus mengungsi juga.

Di utara, kami melihat Merapi sangat merah, langit semerah senja disore hari. Di selimuti awan tebal dan petir yang menyambar. Sementara getaran semakin sering terjadi, suara gemuruhnyapun semakin kuat terdengar. Ibu mbak ria berinisiatif membacakan ayat-ayat suci Al Qur’an diteras, sementara kami membangunkan para pengungsi untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

Setelah akhirnya beberapa kali gentang rumah mbak ria dijatuhi hujan batu dari Merapi, Akhirnya diputuskan untuk mengevakuasi semua yang ada dirumah ini, keluarga mbak ria, juga pengungsinya. Keluarga mbak ria akan ikut dalam mobil sewaan kamwil yang dibawa mas Andi. Sedangkan untuk pengungsi akan dicarikan alternatif kendaraan.

mas Nendi, berinisiatif untuk meminta pertolongan evakuasi dari barak pengungsian balai desa wukirsari, ternyata disana sudah sepi, tinggal beberapa truk tak bersopir dan beberapa aparat kepolisian yang sudah bersiap akan meninggalkan lokasi.

Begitu dimintai pertolongan, aparat tersebut hanya berkata “mas, silahkan selamatkan diri masing-masing,”
dan mereka langsung meninggalkan mas Nendi yang hampir tidak percaya dengan yang didengarnya barusan.
Mas Nendi kembali dengan tangan hampa, dan kekecewaan. Namun berusaha mencari alternatif untuk mengevakuasi pengungsi yang ada disana kala itu.

Sementara itu, penduduk asli dusun Ngemplak sudah berkumpul di titik evakuasi dan bersiap untuk mengungsi, karena kondisi gunung Merapi sudah sangat mencekam. Seumur-umur mereka hidup bersama Merapi, walaupun sudah beberapa kali mengalami letusan Merapi, kondisi malam ini adalah kondisi yang paling mencekam dalam hidup mereka.
Selain warga asli, beberapa pengungsi yang membawa kendaraan sendiripun sudah bersiap untuk meninggalkan rumah mbak ria, termasuk pak Dukuh petung pun, bersama keluarganya langsung meninggalkan warganya.

Saat itu disana tidak ada kendaraan untuk evakuasi, namun kami berinisiatif semuanya harus meninggalkan lokasi. Maka sekitar 60 warga yang masih tersisa kami evakuasi ketitik kumpul dusun Ngemplak. Ditengan suasana mengharu biru tersebut, hanya takbir dan istighfar yang menguatkan.

Beberapa yang sudah sepuh, dan jalannya sangat lama kami bantu evakuasi dengan menggendongnya. Ketika berjalan menuju titik kumpul, kami sempat melihat sebuah truk berisi 4 orang di belakangnya berhenti sejenak di perempatan dekat titik evakuasi tersebut, kami berusaha untuk menghentikan truk tersebut supaya membantu evakuasi para pengungsi yang didominasi oleh lansia ini.

Namun sang sopir nampaknya lebih takut akan keselamatannya, sebelum para pengungsi tiba di lokasi truk tersebut, truknya sudah terlebih dahulu melaju meninggalkan kami disini.

Mbak ria dan orang tuanya, bersama seorang mbah yang sudah sangat dinaikkan terlebih dahulu keatas mobil sewaan KAMWIL. Sementara saya, bara, mbak mecy, dan mbak Echa masih membantu evakuasi warga ketitik pengungsian.

Dan sayangnya hingga akhirnya hujan lumpur sebesar kerikil turun, kendaraan untuk evakuasi warga pengungsi petung masih belum dapat. Saya dan Bara segera berlari untuk mengambil motor yang masih berada dirumah mbak Ria, hujan lumpur semakin deras, keajaiban pertama yang kualami malam itu adalah listrik padam tepat setelah saya menemukan dan menyalakan motor mbak ria. Terlambat beberapa detik saja, mungkin akan sulit menemukan motor tersebut. Karena selain gelap, hujan lumpurpun semakin deras. Hujan lumpur pertama-dan semoga terakhir yang kurasakan.

Sementara itu Mbak Echa dan Mbak Meci sudah dinaikkan juga ke dalam mobil sewaan, menyelamatkan diri. Bara yang berada tepat didepanku dari atas motornya berteriak, menyuruhku untuk bergegas. Memacu kendaraan secepat mungkin, seperti pertanyaan candaan kami beberapa waktu yang lalu... bagaimana bila harus balapan bersama awan panas yang sangat cepat dan panas. Dan sekarang, kami terancam mengalaminya.

Kunaiki motor dengan degup jantung tak beraturan, hanya istighfar yang keluar dari mulutku. Hatiku menjerit-jerit diantara ketidak percayaan akan mengalami peristiwa sebesar ini. Kuniatkan untuk memacu kendaraan secepat-cepatnya menjauhi Merapi.

Dititik itu semuanya berubah, samar kulihat bara didepanku mengikuti mobil dan motor yang dikendarai mas nendi didepan, ditengah hujan lumpur yang semakin deras. Dititik itu lampu motorku menyorot wajah-wajah para pengungsi yang berkumpul di poskamling kecil-yang lama tak terpakai diantara mushola dan titik evakuasi.

Entah secara tidak sengaja, atau memang sudah diatur oleh Allah, saya melihat wajah-wajah mereka, kebanyakan simbah, ibu-ibu, juga kulihat Ryan diantara mereka. dititk itu, Bisa saja saat itu kupacu kendaraan secepat mungkin, meninggalkan mereka. Menyelamatkan diri yang memang seharusnya dilakukan relawan ketika kondisi sudah mendesak seperti ini.

Namun logikaku dikalahkan nurani. Atau mungkin malah karena kebodohan.

Saya malah menghentikan kendaraan didepan mereka. Disirami hujan lumpur yang semakin deras, kuperhatikan mereka yang berhimpit-himpitan dalam poskamling tua itu. poskamling yang didalamnya sudah ditumbuhi rumput liar dan kotor. Sempat kutawarkan untuk ada yang ikut denganku salah seorang. Namun tak ada yang bergeming. Bisa saja kupacu kendaraanku, namun tak kulakukan.

Sementara hujan lumpur semakin deras, angin semakin kencang, merapipun terlihat sangat merah dibalik pekatnya awan hitam. Dengan berbagai pertimbangan dan pilihan hati, akhirnya kuparkirkan motorku dipinggir jalan itu, dan berdiri bergabung berteduh di poskamling tua itu. walau hanya ¾ bagian tubuhku yang terlindung dari hujan lumpur itu.

Dititik itulah, dengan dzikir tak henti-hentinya aku merasa kepasrahan dalam hidupku. Memang disaat sulitlah manusia lebih sering merasa sangat butuh dengan tuhannya. Termasuk saya, disaat nadir itulah kepasrahanku akan hidup dan mati muncul, Karena bisa saja awan panas mengarah kesini, dan meluluhlantakkan kami disini.

Ditengah kepasrahan itu entah kenapa tidak ada penyesalan. Benakku mantap mengatakan Hidup atau mati saat itu, saya sudah memilih tinggal disitu dengan kemantapan hati. Hati saya memilih untuk tetap disana, dan saya melakukannya. Walau tak banyak yang bisa saya lakukan disana.

Entah 15 menit atau setengah jam, hujan lumpur tersebut berganti dengan hujan air. Namun tetap saja hatiku belum bisa tenang. Karena kemungkinan awan atau lahar panas masih bisa kesini. Mengingat titik kami berdiri saat itu boleh dibilang cukup dekat dengan kali opak.

Keajaiban kedua yang kurasakan malam itu adalah ketika hujan lumpur reda, langitpun menjadi tenang. Sangat tenang malah. Walau masih hujan, namun pepohonan yang tadi ditiup angin kini menjadi tenang. Sangat tenang. Bapak disebelahku menenangkan, dengan kearifan lokalnya ia berkata, ndak apa-apa mas, Alhamdulillah... lihat anginnya tenang sekali, biasanya anginnya selalu kencang. Kali ini malah tenang sekali.

Duh, seharusnya aku yang menenangkan mereka... namun tentu saja itu tidak mungkin, karena mereka lebih tahu dari saya. Mereka tidak Cuma malam ini harus dievakuasi malam-malam. Sejak kemarin mereka telah Berjuang antara hidup dan mati.

Begitu hujan reda, ku ajak mereka untuk istirahat di mushola untuk sementara waktu. Mereka menyetujuinya. Suasana masih gelap kala itu. Kunyalakan lampu motor untuk menjadi penerang jalan bagi mereka, mengajak mereka untuk menenangkan diri didalam masjid setelah berdiri didalam poskamling lebih dari sejam.

Saya pun membersihkan diri dari lumpur. Mengambil sarung dari masjid dan menggantikan dengan celanaku yang penuh lumpur. Setelah bersih dan mengganti celana dengan sarung dan melepas jaket yang juga penuh lumpur.

setelah cukup bersih, saya teringat kalau sempat menaruh air mineral kardus diteras rumah mbak ria. berbekal senter pinjaman dari Ryan, Kuambil kardus air mineral tersebut. berharap air minum ini bisa menenangkan para pengungsi.

Saat itu pula saya memulai menjalin komunikasi dengan mbak Ria, Bara, dan beberapa relawan lainnya. Kukabarkan kalau kami masih di Masjid Dusun Ngemplak tanpa kurang suatu apapun. Tentu saja mereka kaget, dikiranya saya sudah pergi jauh namun tidak sejalur dengan mereka. Namun kuyakinkan kalau saya baik-baik saja disini.
Komunikasi masih terus dilakukan, mencoba mencari alternatif untuk evakuasi warga secepatnya.

beberapa saat berselang, dan dari relawan DPC saya mendapat kabar untuk segera meninggalkan dusun Ngemplak secepatnya. Awan panas meluncur kearah barat daya yang berarti itu ketempat kami berada. Kami diminta Berjalan secepatnya menyelamatkan diri.

Kepanikan dan kekhawatiran kembali melanda, kukomunikasikan ke bapak disebelahku bagaimana sebaiknya. Namun dengan berbagai pertimbangan, termasuk tidak mungkin membawa semua pengungsi terutama simbah-simbah yang sudah tua untuk berjalan kaki, akhirnya kami memutuskan untuk tetap bertahan di masjid ini. bersiap, apapun resikonya.

Didalam masjid aku mencoba menenangkan diri dengan memasrahkan diri kepada Allah. selain itu juga menenangkan Mbak ria, Bara, dan yang lainnya kalau saya dan pengungsi tidak apa-apa dan masih bertahan di masjid. Sembari berusaha untuk tetap mencoba mencari alternatif kendaraan evakuasi. Ibu mbak ria pun mengontak kenalannya di TNI untuk mengevakuasi kami disini.

Yang pasti selama beberapa jam di masjid saya terus melakukan komunikasi. mengabarkan apa yang terjadi saat itu disini.

Alhamdulillah tepat pukul setengah 3 datang truk TNI kenalan ibu mbak Ria untuk melakukan evakuasi. Semua pengungsi dievakuasi dan saya menaiki motor mengikuti dari belakang.

Keajaiban selanjutnya yang saya rasakan ada di HP yang saya gunakan untuk komunikasi. Padahal sudah sejak cukup lama mengalami lowbat, namun selama komunikasi, beberapa kali telfon dan sms, HP ini masih bertahan. Nah, begitu truk evakuasi datang dan mengangkut warga berjalan. Saya mengirim sms ke mbak Ria dan bara yang menyatakan “Alhamdulillah, kharis dan pengungsi sudah dievakuasi pake truk TNI. Sekarang sudah berjalan.” Dan setelah mengirim sms yang menyatakan kalau kami selamat tersebu, Hpnya mati kehabisan batere.

Ternyata malam itu, aliran lahar dan awan panas mengalir hingga 18 km melalui kali gendol. Padahal kami saat itu berada 14km dari Merapi. 500 meter ke timur dari titik kami berdiri waktu itu, ratusan rumah dan puluhan jiwa luluh lantak terkena aliran lahar dan awan panas.

Alhamdulillah, ternyata Allah masih memberikan kesempatan untukku menjalani hidup. Karena memang masih banyak yang harus kulakukan, membahagiakan orang tua, bermanfaat untuk orang lain, meraih cita.

Walau tentu saja, masih banyak Relawan dan cerita-cerita tentang Merapi lain yang jauh lebih baik dan mengharukan daripada ini, namun sedikit cerita ini semoga bisa menjadi pengenang betapa berartinya hari itu untukku.

Malam itu Merapi mengajarkanku banyak hal, tentang takdir dan pengobanan, kepasrahan dan kemantapan hati, dan selalu ada Allah yang melihat hambanya. Mengatur sesuai yang dikehendakinya.

dan tentu saja, pengalaman ini menjadikanku memiliki keinginan untuk memberikan terbaik yang bisa dilakukan untuk warga Merapi.


diselesaikan pukul 02.30 WIB di sekre Komisariat UGM
5 november 2011 – Tepat setahun setelah peristiwa paling berkesan bersama Merapi

Kharis Pradana - orang yang banyak belajar dari Merapi dan kearifan lokal masyarakatnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tinggalkan komentar