Alhamdulillah, Akhirnya memiliki kesempatan juga untuk melanjutkan
catatan ini, ditengah hangatnya suasana menjelang Pemira di Kampus.
Juga di awal November ini, hujan yang meneduhkan akhirnya menyapa
Jogja, namun tentu saja membuat warga di sekitar bantaran Kali aliran
lahar dingin Merapi harus waspada.
Catatan kali ini ingin
kupersembahkan untuk mengenang peristiwa tepat setahun yang lalu.
bersama Bara Breelian, Mbak Ria, Mas Nendi, Mbak Echa, Mbak Meichy,
Mas Andi.
Bagi warga di lereng Merapi, boleh jadi ini
adalah peristiwa yang paling mengharukan dalam hidup mereka, karena
tahun lalu tepat tanggal 4 dan 5 November dini hari, lahar dan awan
panas Merapi menerjang hingga 18 km dari puncak Merapi, erupsi terbesar
sejak 100 tahun yang lalu. Tentu saja dampaknya juga teramat besar,
ribuan rumah luluh lantak, ratusan jiwa menjadi korban ke dahsyatan
erupsi Merapi kala itu.
Ini adalah catatanku untuk
mengenang peristiwa hari itu. walaupun berada cukup jauh dari aliran
lahar dan awan panas Merapi, namun hari itu boleh dibilang menjadi
titik nadir kepasrahanku antara hidup dan mati. Berlebihan mungkin,
namun memang seperti itulah yang kurasakan.
Semoga memori hari itu masih bisa tertuang baik dicatatanku kali ini.
Bagian 2 – Merapi, dan Titik Nadir kehidupan
Pagi
ini tidak ada yang berbeda, suasana Jogja yang masih diselimuti abu
tipis sisa hujan abu sabtu kemarin. Memang tidak seperti Magelang,
Boyolali dan wilayah di sebelah barat Merapi, Jogja tidak selalu
terkena hujan abu. Didepan kontrakan yang menjadi tempat penjualan
sayur pun sudah ramai dikunjungi ibu-ibu.
kurasa badanku agak capek memang, oh iya teringat semalam baru tiba dikontrakan hampir pukul 12 malam.
Pukul
21.30 semalam aku masih berada di barak pengungsian kepuharjo untuk
evakuasi barang pribadi dan beberapa barang inventaris Children Center
KAMMI.
Setelah evakuasi malam tadipun saya masih
menyempatkan diri untuk koordinasi dengan koordinator relawan DPC
Cangkringan, dan setelah itu koordinasi dengan beberapa Kadep KAMDA
Sleman di rumah mbak Ria, Kadep Sosmas KAMDA yang berada di Cangkringan
hingga diatas jam 11.
Selain koordinasi dengan relawan
DPC dan KAMDA dimalam harinya, beberapa koordinasi bersama
penanggulangan Bencana Merapi juga dilakukan sejak pagi hari tanggal 3
November kemarin.
Di sekretariat BSMI Jogjakarta, ada
koordinasi singkat dengan mas Rendi dari BSMI Jogjakarta dan mbak Rizka
dari Humanitarian Day Indonesia di pagi hari. Dan siangnya koordinasi
dengan beberapa elemen relawan “trauma healing” untuk anak-anak,
bersama kementerian Sosial, Dompet Peduli Ummat Daruut Tauhiid (DPUDT),
dan Sekolah Pintar Merapi UNY di barak pengungsian Wukirsari.
Pagi
itu, dengan banyak rencana yang akan dilakukan diMerapi hasil
koordinasi kemarin, saya bersiap mentransfer ke teman-teman relawan CC
KAMMI Cangkringan yang lain.
Namun semua rencana yang kususun seketika berubah ketika mendapat pesan singkat dari mbak Ria.
“Ris,
semalem erupsi lagi, jarak aman jadi 15 km, sekarang di rumah mbak
banyak pengungsi dari petung. Ajak temen-temen komsat kesini ya...”
Singkat
cerita, setelah beberapa kali memastikan kondisi di Cangkringan via sms
ke mbak Ria, beberapa relawan dan berita di TV, akhirnya saya
memutuskan untuk langsung melihat kondisi pengungsi di tempat mbak Ria
di dusun Ngemplak, Wukirsari, Cangkringan.
bersama ketua
Komsat UGM mas Bara, kami tiba dirumah mbak ria sebelum pukul 09.00
untuk melihat kondisi langsung pengungsi disana. Diaula rumah mbak
Ria, lebih dari 100 orang warga petung mengungsi disana, kebanyakan
Lansia. Sebelumnya mereka mengungsi di barak kepuharjo, namun erupsi
yang lebih besar terjadi dini hari tadi, dan BMKGpun meningkatkan jarak
aman Merapi yang semula 10 km menjadi 15 km.
Padahal
semalam hingga pukul 21.30, saya masih ditengah-tengah mereka, oh iya
disana, dibarak pengungsian kepuharjo juga sedang digelar pertunjukan
seni wayang yang baru dimulai pukul 21.00. biasanya sih hingga pagi.
Berarti, ketika terjadi erupsi yg lebih besar dini hari tadi,
pertunjukkan wayangnya masih berlangsung... gumamku dalam hati.
Akibat
erupsi semalam, pengungsi dari barak Umbulharjo, Kepuharjo, dan
Glagahharjo harus dievakuasi-atau mungkin mengevakuasi diri sendiri
kebanyakan, dengan barang seadanya ke barak pengungsian yang lebih
aman. Di barak wukirsari sendiri, akibat tidak muat menampung para
pengungsi, banyak pengungsi yang harus mengungsi di rumah-rumah warga
disekitar balai desa wukirsari. Termasuk yang mengungsi di rumah mbak
Ria..
Akibatnya terjadi crowded sejak pagi itu,
terutama kesulitan pendataan lokasi pengungsian yang terpisah-pisah. di
tempat mbak Ria sendiri makan pagi untuk pengungsi masih belum tersedia
padahal sudah lebih dari pukul 09.00, alas tidur untuk para pengungsi
pun masih kurang, dan banyak sekali masalah yang harus dihadapi
pengungsi saat itu.
Warga dusun Ngemplakpun
berduyun-duyun membantu menyiapkan sarapan pengungsi pagi itu, serta
membantu pengungsi sebisanya, semampu yang mereka bisa. Subhanallah,
inilah sejatinya ukhuwah kufikir... tak perlu teori, namun langsung
berbagi ketika saudaranya membutuhkan. Dan ini ditunjukkan oleh warga
desa ini.
.......................................................................................................................................
Setelah
Bara pamit karena ada agenda lain dan berjanji akan kembali lagi ketika
sore hari, akhirnya aku memutuskan untuk menemani adik-adik yang
pengungsi untuk bermain. Ada 8 anak waktu itu, kuajak saja bermain ke
sawah didekat rumah mbak ria. Menangkap yuyu disana. Hampir sejam kami
bermain, bercerita, mencoba mengenal mereka satu persatu...
Salah
satu anak yang paling kuingat bernama ryan. Kelas 4 SD. Ryanlah yang
paling banyak bercerita padaku waktu itu. tentang rumahnya kecilnya
dulu, yang kini tinggal kenangan. Sekolahnya, tempat menuntut ilmu,
teman-teman dan waktu bermain sorenya, ketenangan tidurnya, dan masih
banyak lagi ceritanya sebelum akhirnya Ryan dan keluarganya harus
mengungsi.
Juga cerita polos perjuangannya beradaptasi
dengan barak pengungsian lebih dari seminggu ini. Tentu bisa
dibayangkan, tidur berhimpitan, makan yang terkadang tidak selera,
harus selalu terbangun di malam hari, beberapa kali harus turun untuk
evakuasi ketika erupsi terjadi lagi, semua bercampur menjadi satu.
Namun
sama sekali tidak nampak kesedihan diwajahnya kala itu, ketika kutanya
mengapa, jawabannya begitu murni, setulus hatinya... “Ryan ndak mau
nyusahin ibu sama bapak” jawaban yang menunjukkan betapa kuat dan
tabahnya si kecil Ryan. Dan tentu saja kekagumanku muncul kepada orang
tua Ryan yang membuat anaknya memahami kalau apa yang mereka alami saat
ini adalah ujian, dan harus dijalani dengan tabah.
Ryan
dan teman-temannya bermain dengan seru di pematang sawah. Walau mereka
bukan orang kota, namun di rumah mereka, dusun petung yang berjarak
kurang dari 5 km dari puncak Merapi tentu saja sawah tetap menjadi hal
yang menarik, menangkap yuyu yang biasanya di kali, kini mereka jumpai
di sawah. Juga air bening dan ikan-ikan kecil diatas lumpur di saluran
irigasi sawah.
hari itu, aku ingin mengajak mereka untuk
bergembira menikmati suasana teduh di pematang sawah, mengobati sedikit
luka yang mereka rasakan. Waktu anak-anak adalah waktu bermain, dan
saya tidak ingin ada kebahagiaan yang terenggut dari wajah-wajah polos
itu.
Ketika adzan, yang putra kuajak sholat di masjid.
Setelah itu kubiarkan mereka bertemu dengan orang tuanya di aula rumah
mbak Ria. Bercerita tentang sawah yang baru mereka kunjungi.
setelah
makan siang, kembali kuajak adik-adik untuk bermain bersama, bermain
ular tangga bersama selalu jadi andalan untuk memancing senyum mereka.
Setelahnya kuajak mereka menonton film animasi edukasi di ruang tamu
mbak Ria. Tentu saja sambil mengenali mereka. Anak-anak Merapi yang
tabah.
Ketika asyik menemani adik-adik menonton film, ada
pesan masuk, dari teman-teman BEM FKH, mengingatkan kalau sore ini
harus mengisi di pembekalan untuk calon pengurus BEM KH. TORnya memang
sudah dikirim sejak beberapa hari yang lalu, dan saya tidak pernah lupa
kalau jadwalnya sore ini, namun beberapa hari ini pula kesibukan di
Posko mengalihkan duniaku. Mulai dari kegiatan diposko hingga
koordinasi dengan berbagai pihak untuk penanggulangan Merapi.
Pengalaman pertama menjadi fasilitator materi tanpa persiapan memang selalu membuat tidak tenang bahkan sakit perut.
Akhirnya
ba’da ashar, setelah pamit kepada adik-adik, kupacu motor pinjaman mbak
Ria menerjang hujan dari Cangkringan ke kampus, derasnya hujan sore itu
membuatku berkendara dengan sangat hati-hati, karena selain jalan yang
licin, jarak pandanganpun sangat dekat.
Alhamdulillah
begitu tiba di FKH, hujan sudah agak reda. Kulihat jam 04.05 wib. Telat
5 menit, semoga masih terkejar.disana saya sudah ditunggu beberapa
pengurus BEM FKH, dan mulai mengisi diskusi Ansos sore itu dengan tanpa
persiapan yang matang...
Oiya, didiskusi sore itu,
pertama kalinya saya bertemu dengan Candra, yang unik, dan kelak akan
menjadi rekanku di Sosmas komsat. Mungkin nanti akan ada waktunya
kuceritakan tentang Candra dan keunikannya ^^ menurut sudut pandangku.
Selepas
dari KH, saya menyempatkan diri ke kontrakan untuk mandi dan
menghangatkan tubuh. Ternyata Bara sore tadi sudah berangkat ke rumah
mbak Ria. menepati janjinya.
Selepas Maghrib, sekitar pukul setengah 7 malam, kembali kupacu motor menuju Cangkringan. Hujan tinggal rintik-rintik,
namun
baru kusadari setelah perempatan lampu merah MM, kalau ini bukan hanya
gerimis, namun juga hujan abu yang basah terkena hujan. ini berarti,
Merapi kembali meletus sore tadi ketika hujan deras...
Tidak
jauh dari perempatan MM, saya bertemu dengan mas Rendi, ketua BSMI
Jogja. Darinya kudapat kabar kalau jalan menuju Cangkringan ditutup.
Dan darinya pula kudapati saran untuk mengurungkan niatku berangkat ke
Cangkringan.
Namun tekadku sudah cenderung bulat, dan
akhirnya setelah mempertimbangkan berbagai hal, termasuk janji ke Bara
untuk bertemu disana malam ini, tetap nekat kupacu motor menuju
Cangkringan. Tentu saja dengan hujan abu yang semakin tebal dengan
jarak pandang kurang lebih hanya 3 meter, motornya kukendarai dengan
sangat pelan.
Mengendarai kendaraan ketika hujan abu
disertai gerimis sungguh sangat tidak menyenangkan, ketika menggunakan
kaca helm, maka kacanya dengan segera akan tertutup abu dan penglihatan
akan tertutup seketika. Jadi kita hanya bisa mengandalkan mata sendiri
ditengah hujan abu tersebut, menyipitkan pandangan supaya tidak banyak
abu yang masuk kedalam mata, dan tentu saja lebih banyak menggunakan
insting untuk mengendarai motor.
Menghindari pencegatan
di sekitar UII, di jakal km 12, saya memutuskan untuk memutar dan
menggunakan jalur Ngemplak untuk menuju Cangkringan. Beberapa kali
sempat merasa asing karena tidak tahu berada dimana saat itu, namun
Alhamdulillah ketika bertanya kepada warga, masih dituntun dijalur yang
benar menuju Cangkringan.
Beberapa kali bertanya,
ditambah harus mengendarai kendaraan dengan sangat hati-hati, akhirnya
saya sampai dirumah mbak Ria pukul setengah 9 malam. Perjalanan yang
biasanya ditempuh paling lama 50 menit, malam ini kutempuh dalam 2 jam.
Walaupun lama, saya bersyukur masih bisa sampai disini dengan selamat
tanpa kurang suatu apapun.
Sampai disana, suasana sudah
sangat sepi, saya disambut oleh ibu mbak Ria dan langsung disuguhi teh
panas. Di aula depan sudah sangat sepi, hampir semua pengungsi sudah
terlelap. Dinginnya malam serta gerimis ditambah kelelahan akibat harus
mengungsi dini hari kemarin membuat mereka segera terlelap, padahal
Bara dan Mbak Ria masih di Balai desa menunggu makan malam untuk mereka
jadi.
Pukul 9 kurang, bara dan mbak Ria tiba dirumah
membawa 2 plastik nasi bungkus untuk pengungsi disana. Namun nyenyaknya
tidur mereka, mengurungkan niat kami untuk membangunkan mereka. Karena
sebelum tidur mereka juga sudah makan nasi jatah makan siang yang baru
tiba disana pukul 4 sore.
Akhirnya malam itu saya, bara,
mbak ria, dan orang tua mbak ria membicarakan persiapan besok akan
seperti apa untuk membuat pengungsi disini merasa nyaman. Dan kami
memutuskan untuk menyiapkan konsumsi sendiri mengingat pengalaman hari
ini jadwal pembagian makanan disini dari pusat barak wukirsari sangat
terlambat datangnya.
Tidak lama kemudian, mobil sewaan
KAMWIL yang membawa bantuan untuk pengungsi tiba. Ada Mas Nendi, man
Andi, Mbak Meci, dan mbak Echa yang ikut mengantarkan barang-barang ke
rumah mbak Ria. Setalah itupun kami membicarakan terkait apa saja yang
akan dilakukan dan dipersiapkan untuk besok. Tentu saja fokus sesuai
kemampuan kami dulu, yaitu membantu menyiapkan sebaik-baiknya untuk
pengungsi yang ada disini.
Setengah jam berlalu, hujan
memang sudah reda dari tadi, namun gemuruh Merapi terdengar semakin
sering dan semakin besar disertai guntur dan petir dari arah gunung
Merapi.
sementara itu mulai terasa gempa akibat getaran Merapi, tak pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi pada Merapi saat itu.
Menjelang
pukul sebelas, getaran semakin kencang, sampai menggetarkan kaca-kaca
rumah. Beberapa pengungsi terbangun, namun sebagian besar masih tidur
tidak menghiraukan. Karena sore tadi pihak BMKG memastikan kalau jarak
15 km adalah jarak aman merapi berdasarkan perhitungan.
Semakin
sering dan besarnya gempa akibat getaran merapi mengakibatkan kami yang
berada disana panik, ditengah suasana yang semakin mencekam tersebut,
pak Dukuh Ngemplakpun masih belum mendapat kabar apapun dari barak
pengungsian utama di balai desa wukirsari. Walau demikian, melihat
kondisi Merapi yang semakin mencekam, pak dukuh meminta warganya untuk
selalu dalam keadaan siap apabila sewaktu-waktu harus mengungsi juga.
Di
utara, kami melihat Merapi sangat merah, langit semerah senja disore
hari. Di selimuti awan tebal dan petir yang menyambar. Sementara
getaran semakin sering terjadi, suara gemuruhnyapun semakin kuat
terdengar. Ibu mbak ria berinisiatif membacakan ayat-ayat suci Al
Qur’an diteras, sementara kami membangunkan para pengungsi untuk
bersiap menghadapi segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
Setelah
akhirnya beberapa kali gentang rumah mbak ria dijatuhi hujan batu dari
Merapi, Akhirnya diputuskan untuk mengevakuasi semua yang ada dirumah
ini, keluarga mbak ria, juga pengungsinya. Keluarga mbak ria akan ikut
dalam mobil sewaan kamwil yang dibawa mas Andi. Sedangkan untuk
pengungsi akan dicarikan alternatif kendaraan.
mas Nendi,
berinisiatif untuk meminta pertolongan evakuasi dari barak pengungsian
balai desa wukirsari, ternyata disana sudah sepi, tinggal beberapa truk
tak bersopir dan beberapa aparat kepolisian yang sudah bersiap akan
meninggalkan lokasi.
Begitu dimintai pertolongan, aparat tersebut hanya berkata “mas, silahkan selamatkan diri masing-masing,”
dan mereka langsung meninggalkan mas Nendi yang hampir tidak percaya dengan yang didengarnya barusan.
Mas
Nendi kembali dengan tangan hampa, dan kekecewaan. Namun berusaha
mencari alternatif untuk mengevakuasi pengungsi yang ada disana kala
itu.
Sementara itu, penduduk asli dusun Ngemplak sudah
berkumpul di titik evakuasi dan bersiap untuk mengungsi, karena kondisi
gunung Merapi sudah sangat mencekam. Seumur-umur mereka hidup bersama
Merapi, walaupun sudah beberapa kali mengalami letusan Merapi, kondisi
malam ini adalah kondisi yang paling mencekam dalam hidup mereka.
Selain
warga asli, beberapa pengungsi yang membawa kendaraan sendiripun sudah
bersiap untuk meninggalkan rumah mbak ria, termasuk pak Dukuh petung
pun, bersama keluarganya langsung meninggalkan warganya.
Saat
itu disana tidak ada kendaraan untuk evakuasi, namun kami berinisiatif
semuanya harus meninggalkan lokasi. Maka sekitar 60 warga yang masih
tersisa kami evakuasi ketitik kumpul dusun Ngemplak. Ditengan suasana
mengharu biru tersebut, hanya takbir dan istighfar yang menguatkan.
Beberapa
yang sudah sepuh, dan jalannya sangat lama kami bantu evakuasi dengan
menggendongnya. Ketika berjalan menuju titik kumpul, kami sempat
melihat sebuah truk berisi 4 orang di belakangnya berhenti sejenak di
perempatan dekat titik evakuasi tersebut, kami berusaha untuk
menghentikan truk tersebut supaya membantu evakuasi para pengungsi yang
didominasi oleh lansia ini.
Namun sang sopir nampaknya
lebih takut akan keselamatannya, sebelum para pengungsi tiba di lokasi
truk tersebut, truknya sudah terlebih dahulu melaju meninggalkan kami
disini.
Mbak ria dan orang tuanya, bersama seorang mbah
yang sudah sangat dinaikkan terlebih dahulu keatas mobil sewaan KAMWIL.
Sementara saya, bara, mbak mecy, dan mbak Echa masih membantu evakuasi
warga ketitik pengungsian.
Dan sayangnya hingga akhirnya
hujan lumpur sebesar kerikil turun, kendaraan untuk evakuasi warga
pengungsi petung masih belum dapat. Saya dan Bara segera berlari untuk
mengambil motor yang masih berada dirumah mbak Ria, hujan lumpur
semakin deras, keajaiban pertama yang kualami malam itu adalah listrik
padam tepat setelah saya menemukan dan menyalakan motor mbak ria.
Terlambat beberapa detik saja, mungkin akan sulit menemukan motor
tersebut. Karena selain gelap, hujan lumpurpun semakin deras. Hujan
lumpur pertama-dan semoga terakhir yang kurasakan.
Sementara
itu Mbak Echa dan Mbak Meci sudah dinaikkan juga ke dalam mobil sewaan,
menyelamatkan diri. Bara yang berada tepat didepanku dari atas motornya
berteriak, menyuruhku untuk bergegas. Memacu kendaraan secepat mungkin,
seperti pertanyaan candaan kami beberapa waktu yang lalu... bagaimana
bila harus balapan bersama awan panas yang sangat cepat dan panas. Dan
sekarang, kami terancam mengalaminya.
Kunaiki motor
dengan degup jantung tak beraturan, hanya istighfar yang keluar dari
mulutku. Hatiku menjerit-jerit diantara ketidak percayaan akan
mengalami peristiwa sebesar ini. Kuniatkan untuk memacu kendaraan
secepat-cepatnya menjauhi Merapi.
Dititik itu semuanya
berubah, samar kulihat bara didepanku mengikuti mobil dan motor yang
dikendarai mas nendi didepan, ditengah hujan lumpur yang semakin deras.
Dititik itu lampu motorku menyorot wajah-wajah para pengungsi yang
berkumpul di poskamling kecil-yang lama tak terpakai diantara mushola
dan titik evakuasi.
Entah secara tidak sengaja, atau
memang sudah diatur oleh Allah, saya melihat wajah-wajah mereka,
kebanyakan simbah, ibu-ibu, juga kulihat Ryan diantara mereka. dititk
itu, Bisa saja saat itu kupacu kendaraan secepat mungkin, meninggalkan
mereka. Menyelamatkan diri yang memang seharusnya dilakukan relawan
ketika kondisi sudah mendesak seperti ini.
Namun logikaku dikalahkan nurani. Atau mungkin malah karena kebodohan.
Saya
malah menghentikan kendaraan didepan mereka. Disirami hujan lumpur yang
semakin deras, kuperhatikan mereka yang berhimpit-himpitan dalam
poskamling tua itu. poskamling yang didalamnya sudah ditumbuhi rumput
liar dan kotor. Sempat kutawarkan untuk ada yang ikut denganku salah
seorang. Namun tak ada yang bergeming. Bisa saja kupacu kendaraanku,
namun tak kulakukan.
Sementara hujan lumpur semakin
deras, angin semakin kencang, merapipun terlihat sangat merah dibalik
pekatnya awan hitam. Dengan berbagai pertimbangan dan pilihan hati,
akhirnya kuparkirkan motorku dipinggir jalan itu, dan berdiri bergabung
berteduh di poskamling tua itu. walau hanya ¾ bagian tubuhku yang
terlindung dari hujan lumpur itu.
Dititik itulah, dengan
dzikir tak henti-hentinya aku merasa kepasrahan dalam hidupku. Memang
disaat sulitlah manusia lebih sering merasa sangat butuh dengan
tuhannya. Termasuk saya, disaat nadir itulah kepasrahanku akan hidup
dan mati muncul, Karena bisa saja awan panas mengarah kesini, dan
meluluhlantakkan kami disini.
Ditengah kepasrahan itu
entah kenapa tidak ada penyesalan. Benakku mantap mengatakan Hidup atau
mati saat itu, saya sudah memilih tinggal disitu dengan kemantapan
hati. Hati saya memilih untuk tetap disana, dan saya melakukannya.
Walau tak banyak yang bisa saya lakukan disana.
Entah 15
menit atau setengah jam, hujan lumpur tersebut berganti dengan hujan
air. Namun tetap saja hatiku belum bisa tenang. Karena kemungkinan awan
atau lahar panas masih bisa kesini. Mengingat titik kami berdiri saat
itu boleh dibilang cukup dekat dengan kali opak.
Keajaiban
kedua yang kurasakan malam itu adalah ketika hujan lumpur reda,
langitpun menjadi tenang. Sangat tenang malah. Walau masih hujan, namun
pepohonan yang tadi ditiup angin kini menjadi tenang. Sangat tenang.
Bapak disebelahku menenangkan, dengan kearifan lokalnya ia berkata,
ndak apa-apa mas, Alhamdulillah... lihat anginnya tenang sekali,
biasanya anginnya selalu kencang. Kali ini malah tenang sekali.
Duh,
seharusnya aku yang menenangkan mereka... namun tentu saja itu tidak
mungkin, karena mereka lebih tahu dari saya. Mereka tidak Cuma malam
ini harus dievakuasi malam-malam. Sejak kemarin mereka telah Berjuang
antara hidup dan mati.
Begitu hujan reda, ku ajak mereka
untuk istirahat di mushola untuk sementara waktu. Mereka menyetujuinya.
Suasana masih gelap kala itu. Kunyalakan lampu motor untuk menjadi
penerang jalan bagi mereka, mengajak mereka untuk menenangkan diri
didalam masjid setelah berdiri didalam poskamling lebih dari sejam.
Saya
pun membersihkan diri dari lumpur. Mengambil sarung dari masjid dan
menggantikan dengan celanaku yang penuh lumpur. Setelah bersih dan
mengganti celana dengan sarung dan melepas jaket yang juga penuh lumpur.
setelah
cukup bersih, saya teringat kalau sempat menaruh air mineral kardus
diteras rumah mbak ria. berbekal senter pinjaman dari Ryan, Kuambil
kardus air mineral tersebut. berharap air minum ini bisa menenangkan
para pengungsi.
Saat itu pula saya memulai menjalin
komunikasi dengan mbak Ria, Bara, dan beberapa relawan lainnya.
Kukabarkan kalau kami masih di Masjid Dusun Ngemplak tanpa kurang suatu
apapun. Tentu saja mereka kaget, dikiranya saya sudah pergi jauh namun
tidak sejalur dengan mereka. Namun kuyakinkan kalau saya baik-baik saja
disini.
Komunikasi masih terus dilakukan, mencoba mencari alternatif untuk evakuasi warga secepatnya.
beberapa
saat berselang, dan dari relawan DPC saya mendapat kabar untuk segera
meninggalkan dusun Ngemplak secepatnya. Awan panas meluncur kearah
barat daya yang berarti itu ketempat kami berada. Kami diminta Berjalan
secepatnya menyelamatkan diri.
Kepanikan dan kekhawatiran
kembali melanda, kukomunikasikan ke bapak disebelahku bagaimana
sebaiknya. Namun dengan berbagai pertimbangan, termasuk tidak mungkin
membawa semua pengungsi terutama simbah-simbah yang sudah tua untuk
berjalan kaki, akhirnya kami memutuskan untuk tetap bertahan di masjid
ini. bersiap, apapun resikonya.
Didalam masjid aku
mencoba menenangkan diri dengan memasrahkan diri kepada Allah. selain
itu juga menenangkan Mbak ria, Bara, dan yang lainnya kalau saya dan
pengungsi tidak apa-apa dan masih bertahan di masjid. Sembari berusaha
untuk tetap mencoba mencari alternatif kendaraan evakuasi. Ibu mbak ria
pun mengontak kenalannya di TNI untuk mengevakuasi kami disini.
Yang pasti selama beberapa jam di masjid saya terus melakukan komunikasi. mengabarkan apa yang terjadi saat itu disini.
Alhamdulillah
tepat pukul setengah 3 datang truk TNI kenalan ibu mbak Ria untuk
melakukan evakuasi. Semua pengungsi dievakuasi dan saya menaiki motor
mengikuti dari belakang.
Keajaiban selanjutnya yang saya
rasakan ada di HP yang saya gunakan untuk komunikasi. Padahal sudah
sejak cukup lama mengalami lowbat, namun selama komunikasi, beberapa
kali telfon dan sms, HP ini masih bertahan. Nah, begitu truk evakuasi
datang dan mengangkut warga berjalan. Saya mengirim sms ke mbak Ria dan
bara yang menyatakan “Alhamdulillah, kharis dan pengungsi sudah
dievakuasi pake truk TNI. Sekarang sudah berjalan.” Dan setelah
mengirim sms yang menyatakan kalau kami selamat tersebu, Hpnya mati
kehabisan batere.
Ternyata malam itu, aliran lahar dan
awan panas mengalir hingga 18 km melalui kali gendol. Padahal kami saat
itu berada 14km dari Merapi. 500 meter ke timur dari titik kami berdiri
waktu itu, ratusan rumah dan puluhan jiwa luluh lantak terkena aliran
lahar dan awan panas.
Alhamdulillah, ternyata Allah masih
memberikan kesempatan untukku menjalani hidup. Karena memang masih
banyak yang harus kulakukan, membahagiakan orang tua, bermanfaat untuk
orang lain, meraih cita.
Walau tentu saja, masih banyak
Relawan dan cerita-cerita tentang Merapi lain yang jauh lebih baik dan
mengharukan daripada ini, namun sedikit cerita ini semoga bisa menjadi
pengenang betapa berartinya hari itu untukku.
Malam itu
Merapi mengajarkanku banyak hal, tentang takdir dan pengobanan,
kepasrahan dan kemantapan hati, dan selalu ada Allah yang melihat
hambanya. Mengatur sesuai yang dikehendakinya.
dan tentu saja, pengalaman ini menjadikanku memiliki keinginan untuk memberikan terbaik yang bisa dilakukan untuk warga Merapi.
diselesaikan pukul 02.30 WIB di sekre Komisariat UGM
5 november 2011 – Tepat setahun setelah peristiwa paling berkesan bersama Merapi
Kharis Pradana - orang yang banyak belajar dari Merapi dan kearifan lokal masyarakatnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan tinggalkan komentar