sugeng rawuh di blogku: kharispradana.blogspot.com ^_^

Minggu, 06 November 2011

Catatan Bersama Gerakan KAMMI Mengajar (1)


Alhamdulillah, sungguh sebuah kebahagiaan  melihat Gerakan KAMMI Mengajar hadir di acara Kick Andy Show Metro TV malam tadi. Walau durasinya hanya sebentar, dan saya menjawab pertanyaan dengan terbata-bata karena diliputi kebahagiaan^^, bagi saya ini adalah prestasi yang membanggakan bersama Gerakan KAMMI Mengajar :)


Memang alasan bisa munculnya Gerakan KAMMI mengajar di Kick Andy Show pada tanggal 14 Oktober ini karena idenya “wanita Merapi Berkarya dengan Olahan Lele” menjadi finalis kompetisi Fatigon Aksi Semangat. Sekilas memang terlihat instant, sagat instant malah: punya ide – ikut kompetisi – jadi finalis – masuk kick Andy.

Namun aktivitas Gerakan KAMMI Mengajar bisa bertahan hingga sekarang, bukannya tanpa perjuangan. semoga cerita pengalaman saya bersama Gerakan KAMMI Mengajar ini menjadi motivasi untuk kita: untuk tetap berjuang dan bermanfaat karena Allah.
                        

Bagian 1 - Gerakan KAMMI Mengajar, terinspirasi dari kesederhanaan penuh makna

Inspirasi nama Gerakan KAMMI Mengajar mulanya terbesit sepulang saya dari Umbulharjo, Cangkringan.

Ketika itu Ahad sore awal bulan Februari.  Berbekal motor pinjaman  ketua Komsat saat itu, saya memacu kendaraan ke Plosorejo, Umbulharjo, Cangkringan. Daerah tersebut termasuk dalam KRB (kawasan Rawan Bencana) Gunung Merapi, karena berjarak kurang dari 10 km dari puncak gunung Merapi.

Di Plosorejo saya bertemu dengan bu Iswatun, ustadzah TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an) Asy Syams, dusun Plosorejo. Beliau mengajar TPA  disana sudah lebih dari 10 tahun, tanpa regenerasi. Kadang kala ada warga atau remaja masjid yang membantu beliau mengajar, tapi itu tidak bertahan lama. Seringkali bu Is mengajar sendiri adik-adik di Plosorejo.

Ketika terjadi erupsi Merapi akhir tahun 2010 silam, bu Is dan keluarga pun ikut mengungsi di Stadion Maguwoharjo lebih dari 2 bulan. Selama di pengungsian, tentunya dengan beban yang sama sebagai pengungsi yang harus meninggalkan rumah, beliau tetap berusaha menyemangati adik-adik Plosorejo untuk selalu semangat dan tabah selama di pengungsian.

Sekembali kerumah masing-masing di Plosorejo, walau tidak terkena lahar dan awan panas secara langsung, namun warga plosorejo termasuk bu Is, harus menyesuaikan diri menata kembali kehidupan dengan rumah yang dipenuhi dengan abu vulkanik, hewan ternak yang mati serta sawah dan ladang yang gagal panen akibat ditinggal empunya lebih dari 2 bulan.

Disaat warga Plosorejo masih berbenah diminggu-minggu awal kembalinya mereka ke rumah, bu Is bertekad aktivitas TPA harus tetap berjalan normal. karena apabila tanpa aktivitas positif, bu Is khawatir adik-adik mengalami  trauma berkepanjangan karena bencana Merapi. Jadi dengan mengembalikan kondisi kegiatan TPA seperti semula, ditambah dengan motivasi-motivasi yang diberikan kepada adik-adik selama pelaksanaan TPA, bu Is berharap adik-adik Plosorejo bisa semangat kembali dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

Namun ternyata tantangan yang dihadapi bu Is tidak berhenti hanya sampai disitu, ternyata TPA As Syams pasca mengungsi juga di isi oleh adik-adik pengungsi dari dusun Jambu, Kepuharjo yang saat itu mengungsi di dusun Plosorejo. Dusun jambu sendiri merupakan dusun yang seluruh tempat tinggalnya sudah luluh lantak diterjang awan dan lahar panas.

Setelah status bahaya Merapi diturunkan, dan barak pengungsian di stadion Maguwoharjo dirasa tidak kondusif lagi sebagai tempat mengungsi, warga dusun Jambu memilih tinggal bersama di Plosorejo. Karena selain tempatnya yang lebih kondusif, plosorejo juga relatif dekat dengan kampung halaman mereka. Karena itu, hingga hunian sementara warga jambu jadi dan bisa ditempati, mereka menugngsi di plosorejo.

Dampaknya adalah di sore hari, ketika jam TPA, masjid As Syams riuh dipenuhi adik-adik dari dusun Plosorejo dan adik-adik pengngsi dari dusun jambu. Dan tentu saja mengakibatkan bu Is yang menjadi ustadzah tunggal selalu kelabakan tiap kali melaksanakan TPA disana.

Plosorejolah tempat pertama kami mengajar. GKM Mencoba berbagi keceriaan disana. selain Mengajar adik-adik, kami juga belajar dari semangat bu Is Mengajar. Ditengah keterbatasannya, di sela kesibukannya, walau sendiri, walau sulit tentunya, namun Bu Is sadar, tanpa didikan agama sejak kecil, pemahaman dan motivasi belajar agama akan semakin sulit ditanamkan kepada anak bila anak semakin beranjak dewasa...

Setelah silaturahim kerumah bu Is di Plosorejo, sore itu pula saya melanjutkan perjalanan ke Shelter Plosokerep. Shelter warga dari kelurahan Umbulharjo yang rumahnya luluhlantak diterjang awan panas gunung Merapi. Di shelter itu pulalah warga Pelemsari, Kinahrejo, warga dusunnya almarhum mbah Marijan kini tinggal. Shelter Plosokerep ini termasuk shelter yang paling awal berdiri.

Di Shelter Plosokerep saya bertemu dengan sosok sederhana yang juga luar biasa. Beliau biasa di sapa bu Siti. Dengan Menggendong putrinya yang belum genap berumur setahun, bu Siti tetap bersemangat mengajar TPA adik-adik di shelter plosokerep.

Sebelum terjadi erupsi Merapi, bu Siti biasanya bersama beberapa ustadzah lainnya mengajar TPA di Masjid Almarhum Mbah Maridjan. biasanya Ada 3 orang yang biasa mengajar TPA termasuk bu siti.

Erupsi Merapi merenggut nyawa salah seorang ustadzah adik-adik, sekaligus sahabat bu Siti. Almarhumah bersama satu keluarganya – Suami dan anak, tidak berhasil menyelamatkan diri dari kejaran awan panas. Semoga amal ibadah beliau dan keluarganya serta seluruh ummat Islam yang menjadi korban erupsi Merapi diterima di sisiNya. Amiin.

Di hunian sementara bu Siti yang berbahan dasar bambu ini, saya menemukan kehangatan luar biasa. ditemani suaminya, bu Siti menceritakan tentang aktvitas TPA yang masih tersendat karena kurangnya tenaga pengajar. Kini yang mengajar tinggal berdua. namun, selama di shelter, ustadzah satunyapun harus mengurusi hal lain selama di shelter, alhasil bu Siti lebih sering mengajar sendiri. Tentu sambil menggendong bayinya yang lucu.

Teman-teman bisa bayangkan, selama masa tanggap bencana bulan Oktober-Januari, bu Siti mengungsi hampir 3 bulan dengan harus mengurusi seorang bayi, terlebih lokasi pengungsiannyapun beberapa kali berpindah. Balai desa umbul harjo-balai desa Wukirsari-Stadion Maguwoharjo.

Dengan menyadari kenyataan bahwa desanya-termasuk rumahnya telah luluh lantak-rata diterjang awan panas, bersama seorang bayi yang belum genap berumur 6 bulan kala itu, bu Siti tetap kuat, dan selalu menyemangati adik-adik Kinahrejo selama di pengungsian. Memastikan kalau santri-santriwati TPAnya yang polos tetap bersemangat walau berada di barak pengungsian. Subhanallah... butuh ketangguhan dan ketabahan luar biasa untuk menjalaninya.

Dirumah sederhana ini saya disuguhi teh dan makanan ringan, berkali-kali bu Siti meminta maaf karena menghidangkan suguhan seadanya. Padahal tentu saja saat itu keluarga bu Siti berada dalam kekurangan, rumah yang luluh lantak bersama dengan ladang dan mata pencaharian. namun sungguh besar jiwa mereka, memberi ditengah keterbatasan adalah setulus-tulusnya pemberian. Disana saya belajar tentang pengorbanan dalam bentuk sederhana namun penuh makna.

Tentu masih banyak cerita-cerita warga Merapi yang dapat menginpirasi kita, namun bertemu dengan dua sosok tadi, bu Is dan bu Siti telah membuatku mantap untuk ikut berjuang bersama mereka. memastikan tidak ada keceriaan yang terenggut dari anak-anak Merapi. Belajar kesederanaan, belajar berkorban, belajar keikhlasan, belajar banyak hal dari kehidupan.

Sepulang dari dua tempat di umbulharjo tadi, menyusuri dinginnya kaki Gunung Merapi, dengan semangat mengharu biru karena baru saja bertemu dengan 2 sosok yang sangat menginspirasi. Muncul pertanyaan dalam diri saya, apakah mampu KAMMI langsung mengajar di 2 tempat tadi? sedangkan selama ini saja masih banyak agenda-agenda sosial kemasyarakatan KAMMI Komisariat UGM yang terbengkalai karena minimnya SDM.

Saat itulah, sekilas muncul ide “Gerakan KAMMI Mengajar” nama yang sedikit banyak terinspirasi dari “Gerakan Indonesia Mengajar” yang digagas Anies Baswedan. Dengan semangat awal, kegiatan ini tidak hanya melibatkan pegiat Sosmas Komsat UGM, namun juga melibatkan Mahasiswa diluar KAMMI untuk ikut berkontribusi, untuk Mengajar adik-adik Merapi., sekaligus belajar dari kehidupan warga Merapi.

Tentu saja malam itu baru sekedar ide. Terbesit sejenak di fikiran...
(bersambung:)


Diselesaikan pukul 02.20 di Sekre KAMMI Komisariat UGM
Sabtu, 15 Oktober 2011 – 11 hari menjelang setahun erupsi Merapi 2010

Kharis Pradana – orang yang banyak belajar dari Gerakan KAMMI Mengajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tinggalkan komentar